Oleh : Anggraini Prastikasari
Gemericik air
hujan tak henti-hentinya membasahi jendela kamarku. Inilah saatnya aku menulis
surat untuk Ibu, aku tahu kalau Ibu sangat rindu kepadaku, begitupun aku yang
selalu menanti kehadiran Ibu.
Selembar kertas
tanpa noda itu sudah melambai-lambai dari atas mejaku. Sepertinya ia tak sabar
ingin berjumpa dengan Ibu. Memaksa-maksa aku agar segera melepas rindu kepada Ibu.
“Tanpa hujan,
surat ini tidak bisa sampai kepada Ibu,” fikirku, sambil terus menerus menulis
surat untuk Ibu dengan tergesa-gesa.
“Untuk Ibuku
tersayang.
Ibu.... Tara
rindu sekali sama Ibu….
Tara tahu kalau
Ibu juga rindu sama Tara…. Iya kan Bu??
Ibu kapan
menemui Tara? Oya Bu, senin besok Tara kenaikan kelas loh Bu….
Ibu hadir ya….
Tara mau Ibu yang ambilkan rapot Tara.
Sudah dulu ya Bu,
hujannya sudah mau reda ni….
Tara sayang Ibu.”
Selembar kertas
biru itu telah menjadi perahu kecil, persis buatan Ibu saat Ibu mengajariku
dulu.
“Tara…. Dengar,
gemericik hujan itu begitu indah didengar, damai, dan sejuk. Seperti itu pula yang
Ibu rasakan saat bersamamu Tara.”
Teringat lagi,
ternyiang lagi, tersedu-sedu lagi.
“Tara, sedang
apa kamu malam-malam begini? Tidur, sudah malam!!” ucap ayah dengan wajah yang
terlipat-lipat.
“Tara segera
tidur Ayah,” sahutku lembut.
Seharusnya hari
ini menjadi hari yang sangat special buatku. Tapi nyatanya tidak seperti apa
yang aku inginkan. Aku senang menjadi juara kelas tahun ini. Terimakasih Tuhan.
Aku memang
senang membaca, hobi mengarang dan melukis. Kalau kata Ayah si keturunan bakat
melukis dari Ibu.
“Dunia ini akan
gelap tanpa adanya warna,” ucap Ibu sambil menodai kanfas tak berdosa itu.
“Aku senang
warna biru Bu, biru seperti langit di atas sana, seperti air laut, dan seperti
mata Ibu yang terlihat biru saat menatapku.”
“Aku ingin
kamarku dipenuhi dengan lukisan-lukisan Ibu,” sambar ku lagi.
“Ibu akan membuatkan
lukisan khusus untuk Tara,” ucap Ibu sambil terus menggores-goreskan noda di
atas kanfas.
Bagaikan
tersambar petir disiang hari. Tak nampak lagi wajah malaikat itu, tak terdengar
lagi suara merdu itu, dan tak tersentuh lagi belaian tangan nan lembut selembut
sutra itu.
Aku terus
bertanya kepada Ayah kapan Ibu akan kembali. Tak lelah aku menunggu kehadiranmu
Ibu.
“Tara, segera
tidur, sudah larut malam.”
“Tara ingin
menunggu balasan surat dari Ibu yah….”
“Hujan sudah
reda, Ibu pasti sudah terlelap tidur. Besok pagi Ibu pasti membalasnya.”
“Ibu kapan
pulang, Yah? Tara rindu….”
“Nanti Ibu
kembali Tara, kalau tugas Ibu telah selesai. Sudah, kamu tidur sekarang.”
“Baik Ayah.”
Lalu Ayah
mematikan lampu kamarku dan menutup pintu.
Hhhmmm…. Tetap
saja aku tak bisa tidur. Ingin menulis surat lagi untuk Ibu dan berharap semoga
surat keduaku ini sampai kepada Ibu dan mendapat balasannya.
“Buat Ibuku
tersayang….
Ibu…. Sudah
tidur ya…??
Tara tidak bisa
tidur Bu…. Tara rindu Ibu….
Kata Ayah, di
sana Ibu sibuk ya?
Semoga tugas Ibu
di sana cepat selesai ya Bu dan Ibu cepat pulang.
Besok pagi balas
ya Bu surat Tara ini….
Tara sayang Ibu….”
Aroma embun pagi
telah tercium dari kejauhan.
“Ayo Tara buka
mata mu, lihatlah segera balasan surat dari Ibu,” benakku berkata.
Tak
disangka-sangka Ibu membalas suratku, bahagianya aku melihat kertas warna biru tergeletak
di bawah pintu kamarku.
“Semalam hujan
ya, Yah?”
“Iya, hujan
deras sekali nak, wah pasti semalam kamu pulas tidurnya ya sampai-sampai tidak
tahu kalau turun hujan.”
“Iya, Yah. Aku
mimpi Ibu.”
Seketika Ayah
langsung mengunci mulutnya rapat-rapat tanpa ada celah sedikit pun. Tak ku
hiraukanlah Ayah yang tiba-tiba diam seribu bahasa, aku bergegas membaca surat
balasan dari Ibu.
“Tara sayang….
Maafkan Ibu nak
baru sempat membalas suratmu, Ibu juga sangat rindu padamu nak.
Ibu bangga, Tara
menjadi juara kelas.
Sudah dulu ya nak, masih banyak tugas yang
harus Ibu kerjakan.
Ibu sayang Tara.”
Melayang-layang
rasanya diri ini, sedikit terobati rinduku pada Ibu. Aku selalu berdo’a pada
Tuhan, agar Tuhan menurunkan hujan setiap hari. Aku sangat mengharapkannya
Tuhan, karena aku ingin mengirimkan surat setiap hari untuk Ibu.
Lukisan demi lukisan
telah ku buat dan ku susun rapih di kamar Ibu dan Ayah.
“Lukisanmu indah
nak,” ucap Ayah sambil memandangi lukisanku penuh rasa bangga.
Ayah terus
memandangi lukisan demi lukisan yang tersusun rapih di sudut kiri kamarnya.
“Tara, ini gambar
siapa?” Tanya Ayah lagi, menatap sebuah lukisan seorang anak dengan kedua
orangtuanya yang nampak sangat gembira dengan senyuman kecil di wajahnya.
“Ini lukisan
yang Ibu buat khusus buat aku, Yah. Kata ibu… ini aku, ini Ibu, dan yang ini Ayah.
Gimana menurut Ayah, bagus tidak?”
Seperti biasa Ayah
selalu diam seribu bahasa saat aku membicarakan Ibu.
“Ba..ba..bagus
nak.”
Jawabnya dengan
terbata-bata dan dengan mata Ayah yang berkaca-kaca.
“Liburan kali
ini Tara berdua saja dengan Ayah, tanpa Ibu. Tara bosan di rumah, Tara ingin
kita liburan Yah, bersama-sama Ibu.”
“Ibu kamu sangat
sibuk nak, mungkin liburan tahun depan kita bisa pergi bersama.”
“Memang Ibu
kerja apa Yah? di mana Ibu bekerja sekarang? Bagaimana kalau kita jemput Ibu?”
Ayah kembali
mengunci mulutnya dengan sangat rapat, tapi kali ini Ayah meneteskan air mata.
Benakku bertanya dan terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Kenapa Ibu
bekerja di sana Yah? Kenapa tidak Ayah saja yang bekerja?” tanya ku lagi.
“Penghasilan Ayah
tidak cukup nak untuk kebutuhan sehari-hari kita.”
Sekarang giliran
aku yang diam seribu bahasa, sambil memikirkan bagaimana caranya agar kebutuhan
hidup dapat tercukupi, tanpa Ibu harus bekerja.
Hari mulai
gelap, kicauan burung terdengar dari kejauhan. Dinginnya malam mulai merasuk
lewat sela-sela jendela kamar, hembusan angin malam ini begitu kencang.
“Sepertinya
malam ini akan turun hujan,” fikirku.
Yang aku
inginkan malam ini hanya hujan. Hanya hujan yang dapat menyampaikan suratku
untuk Ibu, karena setiap malam aku selalu mengirim surat untuk Ibu di sana.
Mentari enggan
memancarkan hangatnya, tapi aku harus cepat-cepat buka mata untuk membaca
balasan surat dari Ibu. Tak sesuai harapanku, Ibu tak membalas suratku yang ku
kirim semalam, apa mungkin surat itu tidak sampai kepada Ibu? atau mungkin Ibu
sibuk sehingga tak ada waktu untuk membalasnya?.
Ku tulis lagi
surat untuk Ibu, kata demi kata tersusun rapih di atas kertas biru yang belum
ternoda sedikitpun. Tak terasa susunan kata-kata itu telah menjadi
lembaran-lembaran surat yang siap ku kirimkan untuk Ibu. Syukurlah bulan ini
lagi musim hujan, jadi aku bisa sering-sering kirim surat untuk Ibu.
Hari demi hari,
minggu demi minggu, bulan demi bulan. Tak nampak satu suratpun yang Ibu balas
untukku.
“Mungkin Ibu
sudah lupa pada ku, Yah.”
“Tidak Tara, Ibu
tidak mungkin lupa pada mu nak. Mungkin Ibu masih sibuk, kalau tugas Ibu sudah
selesai, Ibu pasti membalas surat-suratmu nak.”
Hari ini terasa
sangat berbeda, begitu gembiranya aku. Ibu membalas suratku hari ini. Senang,
aku sangat senang.
“Untuk Tara
anakku.
Maaf, Ibu baru
membalas suratmu nak.
Ibu masih banyak
tugas di sini, Ibu sangat sibuk nak.
Ibu mohon, Tara
berhenti mengirimi Ibu surat,
karena Ibu tak mau
Tara menunggu balasan dari Ibu. Ibu masih sibuk nak.
Ibu sayang Tara.”
Senang mendapat
balasan surat dari Ibu, tapi aku sedih karena Ibu tak mau lagi aku mengiriminya
surat.
“Iya Bu, Tara
akan menuruti mau Ibu,” benakku.
Ku jalani
hari-hariku dengan sebungkus harapan, harapan yang tak kunjung datang
kebenarannya. Semakin aku berharap Ibu kembali, semakin aku merasa Ibu semakin
jauh dariku.
Kertas biru yang
dipenuhi dengan coretan, tercecer di kamar Ayah. Tak sengaja memang aku menemui
kertas-kertas itu, saat aku ingin mengambil bolaku yang bergelinding masuk ke
kamar Ayah.
Jantungku
berhenti sesaat, darahku berhenti mengalir. Bagai mayat yang tak bisa bergerak,
tak bisa berfikir dan tak bisa berbuat apa-apa.
Kertas-kertas
itu adalah surat-suratku yang ku kirimkan untuk Ibu.
“Tara!!!”
“Apa yang
sebenarnya terjadi yah?”
“Tara, 5 bulan
yang lalu saat kamu pergi study tour
dari sekolah, Ibumu kecelakaan sampai merenggut nyawanya.”
“Ikhlaskanlah
nak, agar Ibumu tenang di sana,” sambar ayah lagi.
Hitam. Ya, semua
terlihat hitam. Gelap, tanpa sepercik cahaya menyapaku. Air mata ini tak
henti-hentinya membasahi pipiku yang selalu diciumi Ibu setiap hari.
“Kenapa Ayah
menyembunyikan ini semua dari Tara?”
“Ayah tak tega
nak, melihat kamu sedih seperti ini.”
“Kamu masih bisa
bertemu dengan Ibu nak, lewat doa Tara, lewat mimpi-mimpimu nak,” ucap Ayah
lagi, sambil terus menjelaskan dan menenangkanku.
Tak sepatah kata
pun terucap dari bibirku, tak perduli apa yang dijelaskan oleh Ayah. Hanya Ibu yang
bisa menenangkanku, hanya Ibu yang aku mau saat ini, hanya Ibu yang tak pernah
membohongiku.
Tatapan mata
malaikat itu, senyum manis itu, sentuhan lembut itu, dan dekapan hangat itu. Aku
rindu semua itu, aku rindu Ibu, Ibu, dan hanya Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar