Rabu, 24 Februari 2016

Surat Biru




Oleh : Anggraini Prastikasari

Gemericik air hujan tak henti-hentinya membasahi jendela kamarku. Inilah saatnya aku menulis surat untuk Ibu, aku tahu kalau Ibu sangat rindu kepadaku, begitupun aku yang selalu menanti kehadiran Ibu.
Selembar kertas tanpa noda itu sudah melambai-lambai dari atas mejaku. Sepertinya ia tak sabar ingin berjumpa dengan Ibu. Memaksa-maksa aku agar segera melepas rindu kepada Ibu.
“Tanpa hujan, surat ini tidak bisa sampai kepada Ibu,” fikirku, sambil terus menerus menulis surat untuk Ibu dengan tergesa-gesa.
“Untuk Ibuku tersayang.
Ibu.... Tara rindu sekali sama Ibu….
Tara tahu kalau Ibu juga rindu sama Tara…. Iya kan Bu??
Ibu kapan menemui Tara? Oya Bu, senin besok Tara kenaikan kelas loh Bu….
Ibu hadir ya…. Tara mau Ibu yang ambilkan rapot Tara.
Sudah dulu ya Bu, hujannya sudah mau reda ni….
Tara sayang Ibu.”
Selembar kertas biru itu telah menjadi perahu kecil, persis buatan Ibu saat Ibu mengajariku dulu.
“Tara…. Dengar, gemericik hujan itu begitu indah didengar, damai, dan sejuk. Seperti itu pula yang Ibu rasakan saat bersamamu Tara.”
Teringat lagi, ternyiang lagi, tersedu-sedu lagi.
“Tara, sedang apa kamu malam-malam begini? Tidur, sudah malam!!” ucap ayah dengan wajah yang terlipat-lipat.
“Tara segera tidur Ayah,” sahutku lembut.
Seharusnya hari ini menjadi hari yang sangat special buatku. Tapi nyatanya tidak seperti apa yang aku inginkan. Aku senang menjadi juara kelas tahun ini. Terimakasih Tuhan.
Aku memang senang membaca, hobi mengarang dan melukis. Kalau kata Ayah si keturunan bakat melukis dari Ibu.
“Dunia ini akan gelap tanpa adanya warna,” ucap Ibu sambil menodai kanfas tak berdosa itu.
“Aku senang warna biru Bu, biru seperti langit di atas sana, seperti air laut, dan seperti mata Ibu yang terlihat biru saat menatapku.”
“Aku ingin kamarku dipenuhi dengan lukisan-lukisan Ibu,” sambar ku lagi.
“Ibu akan membuatkan lukisan khusus untuk Tara,” ucap Ibu sambil terus menggores-goreskan noda di atas kanfas.
Bagaikan tersambar petir disiang hari. Tak nampak lagi wajah malaikat itu, tak terdengar lagi suara merdu itu, dan tak tersentuh lagi belaian tangan nan lembut selembut sutra itu.
Aku terus bertanya kepada Ayah kapan Ibu akan kembali. Tak lelah aku menunggu kehadiranmu Ibu.
“Tara, segera tidur, sudah larut malam.”
“Tara ingin menunggu balasan surat dari Ibu yah….”
“Hujan sudah reda, Ibu pasti sudah terlelap tidur. Besok pagi Ibu pasti membalasnya.”
“Ibu kapan pulang, Yah? Tara rindu….”
“Nanti Ibu kembali Tara, kalau tugas Ibu telah selesai. Sudah, kamu tidur sekarang.”
“Baik Ayah.”
Lalu Ayah mematikan lampu kamarku dan menutup pintu.
Hhhmmm…. Tetap saja aku tak bisa tidur. Ingin menulis surat lagi untuk Ibu dan berharap semoga surat keduaku ini sampai kepada Ibu dan mendapat balasannya.
“Buat Ibuku tersayang….
Ibu…. Sudah tidur ya…??
Tara tidak bisa tidur Bu…. Tara rindu Ibu….
Kata Ayah, di sana Ibu sibuk ya?
Semoga tugas Ibu di sana cepat selesai ya Bu dan Ibu cepat pulang.
Besok pagi balas ya Bu surat Tara ini….
Tara sayang Ibu….”
Aroma embun pagi telah tercium dari kejauhan.
“Ayo Tara buka mata mu, lihatlah segera balasan surat dari Ibu,” benakku berkata.
Tak disangka-sangka Ibu membalas suratku, bahagianya aku melihat kertas warna biru tergeletak di bawah pintu kamarku.
“Semalam hujan ya, Yah?”
“Iya, hujan deras sekali nak, wah pasti semalam kamu pulas tidurnya ya sampai-sampai tidak tahu kalau turun hujan.”
“Iya, Yah. Aku mimpi Ibu.”
Seketika Ayah langsung mengunci mulutnya rapat-rapat tanpa ada celah sedikit pun. Tak ku hiraukanlah Ayah yang tiba-tiba diam seribu bahasa, aku bergegas membaca surat balasan dari Ibu.
“Tara sayang….
Maafkan Ibu nak baru sempat membalas suratmu, Ibu juga sangat rindu padamu nak.
Ibu bangga, Tara menjadi juara kelas.
 Sudah dulu ya nak, masih banyak tugas yang harus Ibu kerjakan.
Ibu sayang Tara.”
Melayang-layang rasanya diri ini, sedikit terobati rinduku pada Ibu. Aku selalu berdo’a pada Tuhan, agar Tuhan menurunkan hujan setiap hari. Aku sangat mengharapkannya Tuhan, karena aku ingin mengirimkan surat setiap hari untuk Ibu.
Lukisan demi lukisan telah ku buat dan ku susun rapih di kamar Ibu dan Ayah.
“Lukisanmu indah nak,” ucap Ayah sambil memandangi lukisanku penuh rasa bangga.
Ayah terus memandangi lukisan demi lukisan yang tersusun rapih di sudut kiri kamarnya.
“Tara, ini gambar siapa?” Tanya Ayah lagi, menatap sebuah lukisan seorang anak dengan kedua orangtuanya yang nampak sangat gembira dengan senyuman kecil di wajahnya.
“Ini lukisan yang Ibu buat khusus buat aku, Yah. Kata ibu… ini aku, ini Ibu, dan yang ini Ayah. Gimana menurut Ayah, bagus tidak?”
Seperti biasa Ayah selalu diam seribu bahasa saat aku membicarakan Ibu.
“Ba..ba..bagus nak.”
Jawabnya dengan terbata-bata dan dengan mata Ayah yang berkaca-kaca.
“Liburan kali ini Tara berdua saja dengan Ayah, tanpa Ibu. Tara bosan di rumah, Tara ingin kita liburan Yah, bersama-sama Ibu.”
“Ibu kamu sangat sibuk nak, mungkin liburan tahun depan kita bisa pergi bersama.”
“Memang Ibu kerja apa Yah? di mana Ibu bekerja sekarang? Bagaimana kalau kita jemput Ibu?”
Ayah kembali mengunci mulutnya dengan sangat rapat, tapi kali ini Ayah meneteskan air mata. Benakku bertanya dan terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Kenapa Ibu bekerja di sana Yah? Kenapa tidak Ayah saja yang bekerja?” tanya ku lagi.
“Penghasilan Ayah tidak cukup nak untuk kebutuhan sehari-hari kita.”
Sekarang giliran aku yang diam seribu bahasa, sambil memikirkan bagaimana caranya agar kebutuhan hidup dapat tercukupi, tanpa Ibu harus bekerja.
Hari mulai gelap, kicauan burung terdengar dari kejauhan. Dinginnya malam mulai merasuk lewat sela-sela jendela kamar, hembusan angin malam ini begitu kencang.
“Sepertinya malam ini akan turun hujan,” fikirku.
Yang aku inginkan malam ini hanya hujan. Hanya hujan yang dapat menyampaikan suratku untuk Ibu, karena setiap malam aku selalu mengirim surat untuk Ibu di sana.
Mentari enggan memancarkan hangatnya, tapi aku harus cepat-cepat buka mata untuk membaca balasan surat dari Ibu. Tak sesuai harapanku, Ibu tak membalas suratku yang ku kirim semalam, apa mungkin surat itu tidak sampai kepada Ibu? atau mungkin Ibu sibuk sehingga tak ada waktu untuk membalasnya?.
Ku tulis lagi surat untuk Ibu, kata demi kata tersusun rapih di atas kertas biru yang belum ternoda sedikitpun. Tak terasa susunan kata-kata itu telah menjadi lembaran-lembaran surat yang siap ku kirimkan untuk Ibu. Syukurlah bulan ini lagi musim hujan, jadi aku bisa sering-sering kirim surat untuk Ibu.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Tak nampak satu suratpun yang Ibu balas untukku.
“Mungkin Ibu sudah lupa pada ku, Yah.”
“Tidak Tara, Ibu tidak mungkin lupa pada mu nak. Mungkin Ibu masih sibuk, kalau tugas Ibu sudah selesai, Ibu pasti membalas surat-suratmu nak.”
Hari ini terasa sangat berbeda, begitu gembiranya aku. Ibu membalas suratku hari ini. Senang, aku sangat senang.
“Untuk Tara anakku.
Maaf, Ibu baru membalas suratmu nak.
Ibu masih banyak tugas di sini, Ibu sangat sibuk nak.
Ibu mohon, Tara berhenti mengirimi Ibu surat,
karena Ibu tak mau Tara menunggu balasan dari Ibu. Ibu masih sibuk nak.
Ibu sayang Tara.”
Senang mendapat balasan surat dari Ibu, tapi aku sedih karena Ibu tak mau lagi aku mengiriminya surat.
“Iya Bu, Tara akan menuruti mau Ibu,” benakku.
Ku jalani hari-hariku dengan sebungkus harapan, harapan yang tak kunjung datang kebenarannya. Semakin aku berharap Ibu kembali, semakin aku merasa Ibu semakin jauh dariku.
Kertas biru yang dipenuhi dengan coretan, tercecer di kamar Ayah. Tak sengaja memang aku menemui kertas-kertas itu, saat aku ingin mengambil bolaku yang bergelinding masuk ke kamar Ayah.
Jantungku berhenti sesaat, darahku berhenti mengalir. Bagai mayat yang tak bisa bergerak, tak bisa berfikir dan tak bisa berbuat apa-apa.
Kertas-kertas itu adalah surat-suratku yang ku kirimkan untuk Ibu.
“Tara!!!”
“Apa yang sebenarnya terjadi yah?”
“Tara, 5 bulan yang lalu saat kamu pergi study tour dari sekolah, Ibumu kecelakaan sampai merenggut nyawanya.”
“Ikhlaskanlah nak, agar Ibumu tenang di sana,” sambar ayah lagi.
Hitam. Ya, semua terlihat hitam. Gelap, tanpa sepercik cahaya menyapaku. Air mata ini tak henti-hentinya membasahi pipiku yang selalu diciumi Ibu setiap hari.
“Kenapa Ayah menyembunyikan ini semua dari Tara?”
“Ayah tak tega nak, melihat kamu sedih seperti ini.”
“Kamu masih bisa bertemu dengan Ibu nak, lewat doa Tara, lewat mimpi-mimpimu nak,” ucap Ayah lagi, sambil terus menjelaskan dan menenangkanku.
Tak sepatah kata pun terucap dari bibirku, tak perduli apa yang dijelaskan oleh Ayah. Hanya Ibu yang bisa menenangkanku, hanya Ibu yang aku mau saat ini, hanya Ibu yang tak pernah membohongiku.
Tatapan mata malaikat itu, senyum manis itu, sentuhan lembut itu, dan dekapan hangat itu. Aku rindu semua itu, aku rindu Ibu, Ibu, dan hanya Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar